Minggu, 17 Januari 2010

sejarah tayan

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerajaan Tayan di dirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). sedangkan anaknya yang pertama bernama Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertamayang memeluk agama islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari raja mekah sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah.

Kedatangan Gusti Lekar di Tayan semulanya untuk mengamankan upeti dari rakyat daerah itu kepada kerajaan matan, sebelumnya pembawa upeti tersebut selalu mendapat gangguan oleh seseorang yang mengatakan dirinya raja di kuala lebai. untuk semuanya itu Gusti Lekar bersama seorang suku dayak bernama Kia Jaga dari Tebang berhasil mengamankan upeti tersebut sampai ke kerajaan Matan.

Berdirinya Kerajaan Tayan ini pada awal abad ke-15 mengenai asal – usul nama Tayan ini masih terdapat berbagai versi, antara lain:
1. Asal kata TA artinya TANAH dan YAN artinya TAJAM (TANAH TAJAM) Apakah ini dimaksudkan dengan kondisi tanah ujung Tanjung, disitu tempat mulai dibuka atau didirikan kota Tayan.
2. Asal kata TAI artinya BESAR dan AN artinya KOTA (KOTA BESAR).
3. Sebuah tempayan yang di tenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota Tayan.

Gusti Lekar wafat di makamkan di sebuah bukit dekat Kota Meliau, karena tempat atau bukit tersebut masih termasuk wilayah Kerajaan Tayan. Dengan wafatnya Gusti Lekar ini, maka sebagai penggantinya menjadi raja di Tayan di angkatlah Gusti Gagok dengan gelar Pangeran Manca Ningrat, beristrikan Utin Halijah dan memperoleh seorang anak yang di beri nama Gusti Ramal. sedangkan saudaranya yang lain, yaitu Gusti Manggar menjadi Raja di Meliau, Gusti Togok menjadi Raja di Sanggau dan Utin Peruan kawin dengan abang sebatang hari seorang pangeran di Embau Hulu Kapuas (Kapuas Hulu).

Sejak itu ibu kota Kerajaan Tayan di pindahkan ke suatu tempat bernama Rayang. Ditempat ini masih terdapat peninggalan berupa Makam Raja-raja dan sebuah meriam, yang konon atau menurut cerita meriam ini tidak mau dipindahkan ketempat lain dan pada saat-saat tertentu posisinya dapat berubah sendiri. Dengan berakhirnya masa Kerajaan Tayan ini, status keraton di jadikan monumen peninggalan sejarah yang dilindungi ( Monumen Ordonansi No. 238 tahun 1931) dan mendapat bantuan biaya pemeliharaan dari Pemerintahan Daerah TK I Kalimantan Barat. Peninggalan sejarah lainnya yaitu sebuah Mesjid Jami’ yang letaknya kurng lebih 100 mater kearah Barat Keraton dan Makam Raja-raja serta puluhan meriam peninggalan VOC.

Pembatasan Masalah
Batasan dari makalah ini yaitu membahas tentang ulasan singkat proses terjadinya terbentuknya kerajaan Tayan.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut terkait dengan Kerajaan Tayan diantaranya:
1. Apa saja yang melatarbelakangi terbentuknya kerajaan Tayan?
Bagaimana solusi yang tepat untuk menjaga kerajaan Tayan tetap di kenal dalam sejarah kerajaan?


Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui Apa saja yang melatarbelakangi terbentuknya kerajaan Tayan.
2. Mengetahui solusi yang tepat untuk menjaga kerajaan Tayan tetap di kenal dalam sejarah kerajaan.



BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

Sejarah dan Silsilah Kerajaan Tayan
Kerajaan Tayan di dirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). sedangkan anaknya yang pertama bernama Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertamayang memeluk agama islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari raja mekah sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah.

Kedatangan Gusti Lekar di Tayan semulanya untuk mengamankan upeti dari rakyat daerah itu kepada kerajaan matan, sebelumnya pembawa upeti tersebut selalu mendapat gangguan oleh seseorang yang mengatakan dirinya raja di kuala lebai. untuk semuanya itu Gusti Lekar bersama seorang suku dayak bernama Kia Jaga dari Tebang berhasil mengamankan upeti tersebut sampai ke kerajaan Matan.

Selanjutnya Gusti Lekar mandirikan Kerajaan Tayan dan kawin dengan anak tunggal Kia Jaga bernama Enci’ Periuk dan memperoleh empat orang anak yang bernama:
1. GUSTI GAGOK
2. GUSTI MANGGAR
3. GUSTI TOGOK
4. UTIN PERUA

Berdirinya Kerajaan Tayan ini pada awal abad ke-15 mengenai asal – usul nama Tayan ini masih terdapat berbagai versi, antara lain:
1. Asal kata TA artinya TANAH dan YAN artinya TAJAM (TANAH TAJAM) Apakah ini dimaksudkan dengan kondisi tanah ujung Tanjung, disitu tempat mulai dibuka atau didirikan kota Tayan.
2. Asal kata TAI artinya BESAR dan AN artinya KOTA (KOTA BESAR).
3. Sebuah tempayan yang di tenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota Tayan.

Gusti Lekar wafat di makamkan di sebuah bukit dekat Kota Meliau, karena tempat atau bukit tersebut masih termasuk wilayah Kerajaan Tayan.
Dengan wafatnya Gusti Lekar ini, maka sebagai penggantinya menjadi raja di Tayan di angkatlah Gusti Gagok dengan gelar Pangeran Manca Ningrat, beristrikan Utin Halijah dan memperoleh seorang anak yang di beri nama Gusti Ramal. sedangkan saudaranya yang lain, yaitu Gusti Manggar menjadi Raja di Meliau, Gusti Togok menjadi Raja di Sanggau dan Utin Peruan kawin dengan abang sebatang hari seorang pangeran di Embau Hulu Kapuas (Kapuas Hulu).

Sejak itu ibu kota Kerajaan Tayan di pindahkan ke suatu tempat bernama Rayang. Ditempat ini masih terdapat peninggalan berupa Makam Raja-raja dan sebuah meriam, yang konon atau menurut cerita meriam ini tidak mau dipindahkan ketempat lain dan pada saat-saat tertentu posisinya dapat berubah sendiri.
Wafatnya Gusti Gagok, maka yang menjadi Raja di Tayan diangkat anaknya bernama Gusti Ramal dengan gelar Pangeran Marta Jaya, beristrikan Utin Indut dan memperoleh empat orang anak yang diberi nama:
GUSTI KAMARUDDIN
UTIN BLONDO
PANGERAN MANGKU
PANGERAN TANJUNG

Kemudian setelah wafatnya Gusti Ramal, maka yang menjadi Raja di Tayan di angkat anaknya bernama Gusti Kamaruddin dengan gelar Pangeran Sumada,dan mempunyai istri.memperoleh tiga orang anak yang di beri nama:
GUSTI MEKAH
GUSTI REPA
RATU SYURIF

Semasa itu terjadi wabah penyakit kulit melanda rakyat kota dan tidak luput pula raja sendiri. upaya penyembuhan dengan berbagai obat-obatan tidak membawa hasil yang betul-betul menyembuhkan. Menurut cerita disuatu hari ketika raja merendamkan kakinya di sungai tiba-tiba datang seekor ikan patin langsung menyusui atau memakan kulit kaki raja yang sakit tadi. hal ini dilakukan oleh raja berulang kali hingga sembuh. Maka raja pun bersumpah, bahwa sampai kepada anak cucunya tidak boleh memakan ikan patin dan sampai sekarang masih ada diantara keturunannya yang tetap berpegang teguh pada sumpah tersebut, karena di khawatirkan akan terkena penyakit itu.

Dengan terjadinya peristiwa ini raja memutuskan memindahkan ibukota kerajaan Tayan ketempat semula, tepatnya dikuala atau muara sungai kemilun, jaraknya dari sungai Tayan kurang lebih 700 meter. Setelah Ibu Kota Kerajaan Tayan pindah kembali ke Tayan terjadi perang dengan kerajaan Pontianak dan Kerajaan Sanggau. Selanjutnya datang pula serangan dari sentiam orang-orang Cina Menterado dan Bengkayang Kabupaten Sambas.

Pasukan Sentiam orang-orang Cina ketika akan menyerang dengan cara membuat terowongan dari balik bukit Hujan Emas menuju ke Istana dengan jarak kurang lebih 1 km. Hal mana baru diketahui setelah terlihat beberapa orang Cina berkeliaran disekitar Istana, apabila dikejar menghilang begitu saja.Maka oleh raja di perintah para pengawal dan rakyat mencari jejak-jejak mereka. setelah di ketahui dengan pasti diperintahkan pula kepada rakyat untuk mengumpulkan buah beluluk atau aren untuk dimasukkan kedalam lobang atau terowongan dimana mereka bersembunyi.

Oleh sangat gatalnya buah beluluk tadi memaksa para Sentiam orang-orang Cina tadi bergesas keluar dari persembunyiannya, kesempatan ini dipergunakan rakyat untuk membunuh mereka hingga musnah semuanya.Sekarang ini tempat tersebut (balik bukit Hujan Emas) dinamakan Penduduk Sembuntu (tempat yang busuk).Perang yang silih berganti ini jelas sangat menegangkan bagi rakyat, diantaranya keluarga kerajaan yang manjadi korban ialah Syarif Hamzah, Suami Ratu Syurif, yang ditikam dari belakang ketika ia sedang shalat subuh.

Diantara peristiwa diatas apakah tidak mungkin adanya hubungan dengan yang tertulis dalam buku Tanjungpura Berjuang mengatakan “Di Kalimantan Barat Kerajaan Islam Pontianak pada tanggal 17 Agustus 1818 mengadakan pemberontakan di Tayan”. Sistem penyerangan rakyat Tayan saat itu dengan membentuk pertahanan sepanjang sungai kapuas yang diperkuat dengan meriam-meriam besar. Untuk mematahkan pemberontakan rakyat Tayan ini Imperialis Belanda menyerahkan kapal perangnya yang di persenjatai dengan 12 meriam dan satuan tempurnya kompi Ambon ini tidak dapat mengadakan pendaratan,terhalang oleh ranjau-ranjau yang terdiri dari lobang-lobang yang berbambu runcing.

Pemberontakan ini hanya mampu dihadapi oleh Belanda selama tiga hari, kemudian ditinggalkannya. penjelasan terakhir dari pemberontakan ini diadakan diplomasi dimana imprealis Belanda mengaku kebesaran Kerajaan Islam Pontianak. Dalam versi lain dan sampai sekarang ini di Tayan masih puluhan meriam besar VOC, selain yang dipinjam atau diserahkan untuk Museum Daerah di Pontianak dan sebagainya.
Setalah wafatnya Panembahan Gusti Kamaruddin, maka sebagai penggantinya menjadi Raja Tayan diangkat anaknya bernama Gusti Mekah dengan gelar Panembahan Nata Kusuma yang tidak menurunkan anak. mulai saat ini Raja Tayan mengikat kontrak dengan pemerintah Belanda, ada yang mengatakan pada tanggal 12 November 1822 dan pula yang mengatakan tanggal 22 November 1822.

Gusti Mekah memangku jabatan sebagai Raja Tayan sampai dengan tahun 1825 karena meninggal dunia, selanjutnya diangkat Gusti Repa (adiknya) manjadi Raja Tayan dengan gelar Pangeran Ratu Kusuma, juga tidak memperoleh seorang anak pun juga. Pada tahun 1828 beliau wafat, maka jabatan sebagai Raja dipangkunya hanya dalam waktu 3 Tahun. Dengan tidak adanya turunan dari kedua allmarhum diatas, maka diangkatlah neneknya bernama Utin Blondo menjadi Raja Tayan dengan gelar Panceran Ratu Kusuma Negara. Berhubungan beliau seorang wanita dan sudah berusia begitu lanjut akan banyak kesulitan dalam memegang jabatan puncak pemerintahan, maka yang melaksanakan roda pemerintahan kerajan dipercayakan kepada suaminya bernama Gusti Hasan. dalam perkawinan beliau ini diperoleh dua orang anak yang diberi nama:
GUSTI INDING
GUSTI KARMA

Konon menurut cerita, dimasa itu pihak penjajah Belanda dengan kekuatan beberapa serdadunya bermaksud hendak merubah kontrak yang sudah ditandatangani dengan tambahan berbagai syarat baru. karena perubahan ini sangat memberatkan bahan rakyat, maka ditolak oleh Utin Blondo dan pihak Belanda berang. melihat sikap Belanda yang demikian Utin Blondo langsung pergi menuju dimana kapal perang tersebut hingga hampir tenggelam. keadaan ini membuat pihak Belanda membatalkan maksudnya tadi dan segera ingin meninggalkan istana. Pada saat mesin kapal sudah dihidupkan untuk pulang ternyata kapal tersebut tidak bergeser dari tempat semula,walaupun air sungai yang terkena putaran baling-baling kipas kapal tersebut sampai keruh. Keadaan ini membut pihak serdadu Belanda semakin panik, akhirnya minta izin untuk meninggalkan istana, permintaan mana dikabulkan Utin Blondo.

Lamanya Gusti Hasan menjalankan roda pemerintanan kerajaan dari tahun 1828 s/d 1855 karena wafatnya, sebagai pengganti beliau di angkat anaknya bernama Gusti Inding dengan gelar Panambahan Mangku Negara Surya Kusuma yang juga disebut Panembahan Haji, dan tidak dijelaskan baik istri maupun anak beliau.
Dalam tahun 1858 oleh Kanjeng Couvernement Hindia Belanda gelar beliau diganti menjadi Panembahan Anom Paku Negara Surya Kusuma.

Masa itu terjadi perang antara Kerajaan Tayan dengan Kerajaan Landak, sebagaimana perang-perang lainnya tidak jelas penyebabnya maupun pihak mana yang mendapat kemenangan atau yang mengalami kekalahan. Karena usia beliau sudah begitu lanjut dan merasa dirinya tidak sanggup lagi untuk menjalankan roda pemerintahan kerajaan, maka diserahkan jabatan Raja Tayan kepada adiknya bernama Gusti Karma. Gusti Inding wafat pada tahun 1873 dan dimakamkan di Tayan. Gusti Karma menjadi Raja Tayan dengan gelar Panembahan Adi Ningrat Kesuma Negara, beristrikan Andi Fatimah dan memperoleh 5 orang anak yang diberi nama:
GUSTI MUHAMMAD ALI
GUSTI ISMAIL
GUSTI INING
TIJA MELIJAH
UTIN MARYAM

Andi Fatimah adalah anak dari Andi Naim berasal dari keluarga Kerajaan Bone atau Sulawesi, setelah perkawinan ini sebutan marga Andi diganti menjadi Utin sekedar penyesuaian dengan sebutan marga Kerajaan Tayan sehingga berbunyi menjadi Utin Fatimah. Gusti Karma memangku jabatan Raja Tayan dari tahun 1873 s/d 1880, setelah wafat maka yang mengganti beliau diangkat anaknya bernama Gusti Muhammad Ali atau Inding dengan gelar Panembahan Paku Negara Kusuma, beristrikan Utin Fatimah dan memperoleh 12 orang anak yang diberi nama:
GUSTI TAMDJID 7. UTIN RAFIAH
GUSTI MUKMIN 8. TIAK SARUNA
GUSTI MUSTAFA 9. TIAK INDING
TIAR DOMPET 10. UTIN SALBIYAH
RADEN MULUK 11. UTIN SA’DIYAH
RADEN ANDI 12. UTIN SALMAH

Pada yahun 1889 Raden Abd. Salam Raja Meliau yang disebut Pangeran Manado melepaskan kekuasaannya atas Kerajan Meliau kapada Pemerintahan Belanda, karena beliau pandah ke Betawi atau Jakarta dan wafat disana pada tahun 1897. Selanjutnya Pemerintahan Belanda menyerahkan lagi kekuasaan atas Kerajan Meliau ini kepada Raja Tayan pada tanggal 26 februari 1890.


Dalam masa jabatan Panembahan Gusti Muhammad Ali ini istana atau keraton Tayan dipindahkan dari Teluk Kemilun ke Kampung Pedalaman (yang ada sekarang ini). Keraton mana dibangun oleh Rakyt Tayan untuk Rajanya dengan bahan-bahan dan konstruksi yang cukup baik. Panembahan Gusti Muhammad Ali memegang jabatan raja selama 15 Tahun, mulai tahun 1890 s/d 1905, beliau wafat dan dimakamkan di Tayan.

Dengan wafatnya beliau ini maka sebagai penggantinya menjadi Raja Tayan diangkat anaknya bernama Gusti Tamdjid dengan gelar Panembahan Anom Paku Negara, yang beristrikan 5 orang yaitu Enci, Pipah, Saedah, Utin Wangi, Sepa, Utin Maryam dan memperoleh 19 orang anak yang diberi nama:
GUSTI MADRI
GUSTI DJAFAR 11. GUSTI HUSIN
UTIN ZAHRAN 12. UTIN ATINA
UTIN KEMALA 13. GUSTI DJOHAN
GUSTI INTAN 14. GUSTI MUHAMMAD ALI
UTIN NURRIAH 15. UTIN KAPTIAH
GUSTI HASNAH 16. GUSTI NURDIN
UTIN MARYAM 17. GUSTI ISMAIL
GUSTI MACHMUD 18. UTIN UDARA
GUSTI HASAN 19. UTIN HANAFIAH

Pada tahun 1906 daerah Meliau diserahkan kembali kepada pemerintahan Belanda dengan mendapat ganti rugi, sehingga daerah tersebut menjadi Governement Gebied. Gusti Tamdjid memangku jabatan Raja Tayan sejak tahun 1905 samapi beliau wafat pada tanggal 20 Mei 1929 dan dimakamkan di Tayan. Dalam tahun 1929 itu juga Gusti Djafar (anak kedua) diangkat menjadi Raja Tayan dengan gelar Panembahan Anom Adi Halidjah (anak Panembahan Gusti Muhammad Tahir Sanggau) dengan memperoleh 16 orang anak yang diberi nama:
GUSTI USMAN 9. GUSTI BUSTAMI
GUSTI KENAAN 10. GUSTI BUSNI
GUSTI ABAS 11. UTIN AISYAH
UTIN ZAHRIAN 12. GUSTI ALIDIN
UTIN ANISYAH 13. GUSTI DARMAWI
GUSTI MUHAMMAD THAHIR 14. GUSTI RUBINI
UTIN KAMARIAH 15. GUSTI SOFIAN
UTIN DJAMALIAH 16. UTIN ASYIAH

Tiga orang lainnya meninggal dunia masih bayi. Pada tahun 1931 Panembahan Gusti Djafar membangun tambahan depan keraton untuk tempat menerima tamu dan acara-acara pertemuan dengan dihiasi atau koleksi berbagai barang-barang antik seperti piring-piring kuno buatan tiongkok atau cina, tameng, tombak dan sebagainya. Kemudian pada halaman depan keraton ditata dengan berbagi jenis bunga sehingga merupakan taman kecil. Kiranya dalam diri beliau terdapat jiwa seni yang menyenangi akan keindahan. Di bagian lain kesenian tradisional seperti jenis musik Rabana yang selalu dipegerkan pada acara-acara tertentu,terhadap peralatan bunyi-bunyian tradisional keraton berupa keromong, gong terpelihara dengan baik.

Perubahan lain dengan mulai di bangun jalan darat Tayan – Sososk – Sanggau untuk kendaraan roda empat, pemasangan hubungan telepon Sanggau – Tayan dan terakhir dibangun Kantor Kerajaan Tayan (Balai Agung).

Meletusnya Perang Dunia II tahun 1942 dan mengikat peperangan ini adalah suatu tragedi besar dunia yang menyangkut berbagai seni kehidupan umat manusia, maka baiknya peristiwa ini diuraikan dengan sedikit terperinci, karena akibat atau percikannya dirasakan oleh Rakyat Tayan juga khususnya. Betapa kejam peperangan yang menimbulkan bermacam penderitaan bagi umat manusia,semoga dapat dihayati dan oleh generasi mendatang.

Pada tanggal 19 Desember 1942, hari jum’at pukul 11.00 siang dimana umat Islam sedang bepergian menuju Masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, tiba-tiba kota pontianak diserang oleh Tentara Jepang dengan 9 buah pesawat terbang. Yang terkena sasaran berat pengeboman sekitar kampung Bali (sekarang jalan Ir. H. Juanda dan jalan Sisingamangaraja), karena letaknya berdampingan dengan Tangsi atau Asrama Tentara Belanda. Serangan yang meledak ini banyak Rakyat yang sedang berada dilokasi itu menjadi korban.

Terdengar berita ini penduduk Kota Tayan seluruhnya mengungsi keluar kota, termasuk keluarga keraton,sebagian besar menuju Kampung Entangis. Selanjutnya pindah lagi ke Kampung Manang,yang jaraknya dari kota Tayan kurang lebih 20 mil. Dalam hal ini kecuali Panembahan Gusti Djafar dengan beberapa orang polisi keraton masih tetap berada di Tayan. Sementara itu Kota Tayan oleh Tentara Belanda di jadiakan pangkalan 3 buah pesawat terbang mereka dengan menggunakan sungai kapuas sebagai landasan. Meski pangkalan ini tidak berlangsung lama, namun sempat pula pesawat mereka melakukan serangan ke daearah Serawak atau kucing dan Tarakan yang lebih dahulu diduduki pasukan Tentara Jepang.

Masuknya Tentara Jepang di Kalimantan Barat ini dengan melakukan pendaratan dari pantai Pemangkat Kabupaten Sambas. Dalam perang melawan Tentara Jepang ini pertahanan Tentara Belanda sangat rapuh, dengan mudah sekali satu demi satu kota didudukinya dan pada bualan Februari 1943 giliran Kota Pontianak dikuasai Tentara Jepang. Tentara Belanda yang ada di Pontianak maupun dari kota-kota lainnya begitu cepat melarikan diri ke daearah Sintang dan Putusibau atau Kapuas Hulu dengan menggunakan angkutan darat dan sungai.

Tenggang waktu penyarangan tentara Belanda kepada Tentara Jepang Panembahan Gusti Djafar berkesempatan mengunjungi keluaraga yang mengungsi di Kampung Manang. Dengan tanpa diduga terjadi peristiwa dimana rakyat membingkar dan mengambil secara paksa barang-barang milik pedagang orang-orang Cina dipasar Tayan, karena toko-toko tersebut dalam keadaan kosong oleh pemilik yang sudah mengungsi keluar kota.

Terdengarnya berita ini Panembahan Gusti Djafar segara kembali ke Tayan, dalam perjalanan ini beliau sempat menemui rakyat yang sedang mengangkut barang-barang, oleh beliau diperintahkan untuk dikembalikan dan sementara waktu dikumpulkan di keraton. Adapun barang-barang tersebut hanya perabotan rumah tangga seperti meja, kursi, piring, mengkok, sepit, sedangkan barang berharga lainnya sudah dibawa pemiliknya mengungsi keluar kota.

Dengan telah jelasnya seluruh Kalimantan Barat sudahdi kuasai Tentara Jepang seluruh keluarga keraton dan masyarakat lainnya berangsur-angsur kembali ke Kota Tayan. Demikian pulaTentara Belanda yang melarikan diri ke Daearah Sintamg dan Kapuas Hulu ke Pontianak untuk menyerahkan diri kepada Tentara Jepang. Beberapa bulan berjalannya Pemerintahan Jepang ini para rakyat Kalimantan Barat mengadakan pertemuan atau rapat di gedung Medan Sepakat Jalan Landraad atau Pengadilan, sekarang Jalan Jendral Urip Pontianak. Menurut berita dalam rapat ini pemimpin rakyat itu akan meracuni Opsir-opsir Jepang yang hadir, namun hal ini telah diketahui lebih dahulu oleh Tentara Jepang dan langsung melakukan penangkapan terhadap pemimpin rakyat tadi. Mulai saat itu Pemerintah Jepang memberlakukan jam malam dan melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai.

Kemudian berlanjut dengan penangkapan terhadap Sultan Pontiank Syarif Muhammad Alkadrie, raja-raja dan sultan lainnya di seluruh Kalimantan Barat, termasuk Panembahan Gusti Djafar. Sebenarnya dengan penangkapan terhadap Sultan Pontianak sudah diduga berlanjut terhadap Sultan atau Raja lainnya. Karena beberapa famili dan pemuka rakyat tayan menyerahkan kepada Panembahan Gusti Djafar agar melarikan diri kedaerah pedalaman, terutama daerah desa Meliau yang rakyatnya sudah sanggup melindungi beliau. Namun beliau menjawab, bagaimana nasib keluarga keraton yang ditinggalkan akan disiksa oleh Tentara Jepang. Justru saat akhir beliau akan ditangkap, tiap selesai shalat magrib bejamaah menunggu waktu isya’ beliau selalu memberi nasihat-nasihat dan pesan-pesan dalam menghadapi masa depan dan tiap malam beliau melakukan shalat tahajud.

Di awal selasa malam akhir bulan Syafar (tahun 1943 M) datang sebuah motor air tentara Jepang dan menginap dipasar tayan. Subuhnya kurang lebih pukul 04.00 mereka menyeberang menuju keraton langsungmasuk ruangan tamu balai Keraton. Selesai berwudhu dan melaksanakan shalat subuh barulah Panembahan Gusti Djafar menemui Tentara Jepang tadi. Tidak lama kemudian Tentara Jepang ini mulai melakukan pengeledahan dalam keraton, semua penghuni ini sempat melarikan diri dengan bersembunyi dibelakang keraton.

Selesai penggeledahan kira pukul 07.00 pagi rombongan tentara Jepang ini langsung membawa serta Panembahan Gusti Djafar dengan motor air yang mereka pakai menuju ke Pontianak. Kepada beliau oleh tentara Jepang diberikan kesempatan membawa satu koper pakaian, peralatan sembahyang berupa sajadah, tasbih dan lain. dalam suasana yang mencekamkan ini hanya terdengar suara tangisan keluarga keraton yang ditinggalkan. Selanjutnya menyusul penangkapan terhadap famili lainnya:
GUSTI INTAN (adik) 6. GUSTI HAMID (sepupu 1x)
GUSTI HASNAN (adik) 7. RADEN A. RANI (famili)
GUSTI MACHMUD (adik) 8. RADEN UMAR (famili)
GUSTI ABDULRAHMAN (ipar) 9. MUHD. SALEH (sepupu 1x)
GUSTI HAIDIR (ipar)

Beberapa bulan kemudian surat kabar “ BORNEO SHIMBUN” terbitan Pontianak yang sengaja disampaikan di keraton mengatakan, bahwa pemerintah Jepang telah berhasil membongkar rencana kompelotan pemberontak yang dipimpin Dr. Rubini Cs dan Sultan atau Raja-raja Sekalimantan Barat dengan memuat foto tumpukan senjata berupa senapan mesin, granat, pistol dan lain sebagainya yang dikatakan milik pemberontak serta foto-foto pemimpinnya, termasuklah Panembahan Gusti Djafar.

Milai saat itu rakyat kehilangan pemimpin yang diharapkan. rasa cemas semakin meluas melihat tindakan Tentara Jepang semakin merajalela, kapan giliran mereka ditangkap. Penderitaan hidup rakyat kian bertambah berat, beras sebagai makanan pokok sulit didapat, karenanya harus mau memakan nasi bercampur ubi atau jagung, pisang dan sebagainya. Pasar sebagai tempat kegiatan jual beli sudah tidak berfungsi lagi, karena tidak ada barang yang akan dijual belikan. Pakaian semakin buruk, sehingga tidak merupakan hal yang memalukan andaikan berpakaian dengan pakaian dari bahan kulit kayu (kepua’), bahkan ada keluaraga yang harus bergantian jika hendak keluar rumah karena tidak mempunyai pakaian lainnya. Beberapa jenis barang yang bukan keperluan pokok disalurkan melalui suatu badan yang dinama KIMIAI dan untuk mendapat barang tersebut harus ditukar dengan barang lain.

Kemudian rakyat diharuskan menyerahkan permata intan atau berlian kepada pemerintah Jepang dengan harga yang ditentukan sendiri oleh mereka atau ditukar dengan bahan pakaian. Untuk menakut-nakuti rakyat di propagandakan, bahwa pemerintah Jepang dengan mempunyai alat yang dapat mendeteksi atau mengetahui dimana permata-permata tersebut disembunyikan pemiliknya. Karena masih sederhananya pengetahuan rakyat di zaman itu, dengan terpaksa harta kekayaan yang disayangi ini diserahkan kepada Pemerintah Jepang tadi.
Bahan bakar minyak tanah atau bensinyang merupakan kebutuhan rumah tangga dan transportasi tidak ada dijual dipasaran bebas. Sebagai penggantinya dibuatlah suatu industri penyulingan dengan bahan baku karet, sedangkan untuk penerangan rumah tangga dipergunakn minyak kelapa, damar atau karet yang sudah dikeringkan. Keadaan kesehatan rakyat yang sudah begitu melemah akibat kurangnya bahan makanan, maka yang banyak di derita oleh rakyat ialah penyakit kulit dan malaria. Persedian obat-obatan tidak ada sama sekali, apalagi di Tayan sejak zaman penjajahan Belanda (sebelum PD II) tidak ada poliklinik.

Dengan semakin beratnya penderitaan rakyat ini, maka terjadilah pembunuhan yang pertama oleh seorang suku Dayak Desa Meliau terhadap seorang Jepang diperusahaan kayu di ENSAO (antara Tayan denagn Pontianak). Peristiwa ini membuat amarah pihak Jepang dan segera rombongan Kompetai (CPM) mereka berangkat pergi ke Kampung Embau dimana Suku Dayak Desa ini banyak bertempat tinggal. Kedatangan rombongan Kompetai Jepang dengan perlengkapan tentaranya itu disambut dengan sikap lugu masyarakat desa membawa kelengahan yang memberi kesempatan Suku Dayak Desa ini menyerang dan membunuh rombongan tersebut, sehingga komandannyabernama Nagatani dan seorang Kaigun Haihonya terbunuh,sedangkan yang lainnya sempat melarikan diri.
Kemudian Suku Dayak Desa ini melakukan penyerangan tehadap Tentara Jepang yang ada di Meliau dan diantaranya gugurlah pemimpin mereka bernama Pang Suma. Selang beberapa waktu berikutnya, suatu sore hari hanya dengan dilandasi semangat patriotisme yang tinggi dan jumlah pasukan yang besar pemberontak ini melakukan serangan terhadap Tentara Jepang yang ada di Tayan. Dengan perlengkapan berbagai senjata modern dan teknik atau pengalaman perangnya dengan mudah Tentara Jepang ini mematahkan serangan tersebut, dan beberapa jumlah korban yang jatuh tidak diketahui.

Dalam situasi yang semakin kritis ini dimana pesawat terbang Amerika jenis B.24/29 yang terkenal tahan peluru atau tembak sudah selalu melintasi Kota Tayan untuk melakukan serangan terhadap Kota Pontianak dan motor-motor air yang sedang berada di sungai-sungai yang merupakan alat transportasi utama. Sekali waktu terjadi serangan terhadap motor air dari Sanggau dalam perjalanan menuju Pontianak sampai tenggelam, diantara korbannya ialah Gusti M. Amir, putera Almarhum Gusti M. Tahir Panembahan Sanggau (ipar Panembahan Gusti Djafar). Demikian pula kegiatan rakyat yang memberontak semakin meluas dan selalu menyerang motor-motor air Jepang yang di dalamnya selalu mambawa rakyat yang mereka tangkap.

Untuk memperkuat kedudukannyan Jepang membentuk apa yang dinamakan Seinendan yang diambil Pelajar atau pemuda untuk membantu polisi atau jumpo meraka menjaga keamanan. Mereka dilatih ilmu bela diri dan baris berbaris yang dalam tugasnya hanya dipersenjatai dengan patung atau senapang dari kayu. Sebagai pembalasan tehadap serangan-serangan pemberontak, disuatu subuh hari Tentara Jepang bersama jumpo-jumponya melakukan serangan ke Kampung Belungai dengan menggunakan motor air yang sekaligus membumi hanguskan rumah-rumah Ibadah Umat Islam ini Tuhan Yang Maha Kuasa menentukan lain, sehingga akhir serangan Mesjid tersebut tetap utuh.

Dalam situasi hari ke hari yang sudah begitu mencengkam, tiba-tiba disuatu sore hari semua Tentara Jepang yang berada di Tayan berangkat menuju Pontianak. Gerangan apa yang telah tidak seorangpun rakyat yang mengetahuinya, bahkan cukup banyak rakyat yang menyaksikan keberangkatan meraka ini. Tetapi setalah beberapa hari kemudian terdengar berita bahwa Kota Yokohama dan Nagasaki telah diserang oleh Amerika dengan menjatuhkan Bom Atom yang terkenal dasyatnya dan Pemerintah Jepang menyerah tanpa syarat dengan Sekutu (Amerika Cs).

Masa kevakuman pemerintahan ini berdatanglah orang-orang yang mengatakan dirinya panglima itu dan ini, yang katanya mencari Tentara Jepang, padahal mungkin mereka sudah tahu bahwa di Tayan sudah tidak ada lagi Tentara Jepang. Dengan sikap angkuh mereka menakut-nakuti penduduk dan pula keluarga keraton, yang pada akhirnya mereka minta di sediakan makanan yang enak-enak, suatu hal yang tidak mungkin dipenuhi di saat-saat seperti itu. Situasi ini membuat rakyat yang kuat kesetiannya terhadap keluarga kerajaan membentuk suatu regu atau kelompok pengawal dan penjaga keraton Tayan yang terdiri dari Suku Dayak Desa di pimpin Pang Dandan, Suku Dayak Tebang di pimpin Panglima Gagak dan Suku Melayu di pimpin Gusti M. Ali.

Sejak itu tidak ada lagi pihak-pihak yang berani mengganggu keamana keraton dan penduduk lainnya. Di Pontianak terjadi perang antara Suku Melayu Cs dengan Orang Cina yang hendak memegang kekuasaan pemerintahan dengan membentuk apa yang di namakan mereka P.K.O. (Pasukan Keamana Oemoem atau Umum).

Di Sanggau terjadi perang antara Suku Melayu dengan Suku Dayak yang masing-masing ingin memegang kekuasan pemerintahan. Setelah datang Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Tentara Amerika dengan tugas untuk melucuti senjata Tentara Jepang, dibelakangnya membonceng Tentara Belanda (NICA) yang hendak menjajah kembali Bumi Indonesia. Sejak itu barulah di ketahui dengan jelas, bahwa para pemimpin dan rakyat yang di tangkap Tentara Jepang telah dibunuh semuanya, sebagian besar di makamkan di Mandor (78 km dari Pontianak) Kabupaten Pontianak.

Tempat pemakaman Mandor ini dijadikan suatu Monumen dengan nama “Makam Joang” yang pengresmian dilakukan pada tanggal 28 Juni 1977. Adapun tempat penyiksaan korban oleh Tentara Jepang masing-masing di belakng ex KODAM XII/TDPR Jalan Rahadi Usman, belakang BPD Jalan Tanjung Pura, Sungai Durian atau Lapangan Supadio dan Lembaga Pemasyarakatan Pontianak.

Di Proklamirkannya Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, di Kota Tayan tidak terjadi pergolakan apapun. Hal mana mungkin di karenakan tokoh-tokoh pergerakan telah dibunuh Tentara Jepang sebagaimana terurai diatas tadi. Tetapi beberapa daerah lainnya di Kalimantan Barat ini terjadi pergolakan sampai pada tingkat pertempuran melawan Tentara Belanda yang kembali menjajah Indonesia.

Gusti Ismail (adik Panembahan Gusti Djafar) dilantik menjadi Raja Tayan dengan gelar Panembahan Paku Negara. Situasi politik dengan pertempuran-pertempuran yang semakin memuncak antara pemerintah penjajahan Belanda dengan pejuang-pejuang Kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Belanda membentuk negara-negara bagian dan di Kalimantan Barat apa yang dinamakan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dengan Kepala Daerah Sultan Hanid II. Menjelang tahun 1950 terjadi perubahan sebagai hasil Konpesensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Denhaag Negeri Belanda, dimana Pemerintah Belanda mengaku Kedaulatan Republik Indonesia seluruh wilayah bekas jajahan Belanda, kecuali Irian Barat atau Irian Jaya akan di bicarakan setahun kemudian. Perubahan nama tidak sampai merubah status kerajaan yang ada di Indonesia, kecuali gelar atau sebutan Sultan atau Raja diganti dengan sebutan Kepala Swapraja.

Pergeseran politik terus berlangsung, satu demi satu negara bagian yang di bentuk pemerintah Belanda meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan republik Indonesia, demikian pula kerajaan-kerajaan yang ada, kecuali Kesultanan Yogyakarta ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyajarta. Di Kalimantan Barat bekas kepala Swapra diangkat menjadi pegawai Negara Sipil dengan Jabatan Wedana (setingkat dibawah Bupati) di daerahnya masing-masing. Dalam kedudukannya sebagai Wedana Tayan atau Meliau Gusti Ismail dipindahkan dan diperbantukan di Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sanggau sampai beliau pensiun.dari perkawinannya dengan Utin Nursinah beliau memperoleh 15 orang anak yang di beri nama:
GUSTI ISKANDAR 9. GUSTI JUNAIDI
GUSTI STARIFUDIN 10. GUSTI MULYADI
GUSTI DHARMUDDIN 11. UTIN METRA ARIANI
GUSTI AKAMUDIN 12. GUSTI SYARFINI
UTIN SUMIATY 13. GUSTI LUFFIE
GUSTI ZULKARNAIN 14. GUSTI DADANG KABRI
GUSTI AKHMADI ABIDIN 15. GUSTI MUHAMMAD YUSRI
GUSTI STABIRIN
Setelah pensiun sebagai pegawai negeri beliau kembali ke Tayan sampai wafat dan dimakamkan di pemakaman Raja-raja Tayan.

Dengan berakhirnya masa Kerajaan Tayan ini, status keraton di jadikan monumen peninggalan sejarah yang dilindungi ( Monumen Ordonansi No. 238 tahun 1931) dan mendapat bantuan biaya pemeliharaan dari Pemerintahan Daerah TK I Kalimantan Barat. Peninggalan sejarah lainnya yaitu sebuah Mesjid Jami’ yang letaknya kurng lebih 100 mater kearah Barat Keraton dan Makam Raja-raja serta puluhan meriam peninggalan VOC.

Mesjid Jami’ tersebut sampai sekarang masih tetap dipergunakan untuk tempat ibadah umat islam, Cuma bentuk bangunan sudah berubah dari semula. Dengan konstruksi dan bahan bangunan yang terdiri dari kayu-kayu belian ini masih dalam keadaan yang cukup kuat. Karena Mesjid ini juga merupakan peninggalan sejarah, memerlukan uluran tangan dari pihak berwenang dan para dermawan lainnya untuk mengembalikan seperti bentuk asli yang mencerminkan arsitektur dimasa lampau dan lestari.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kerajaan Tayan di dirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). sedangkan anaknya yang pertama bernama Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertamayang memeluk agama islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari raja mekah sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah.

Berakhirnya masa Kerajaan Tayan ini, status keraton di jadikan monumen peninggalan sejarah yang dilindungi ( Monumen Ordonansi No. 238 tahun 1931) dan mendapat bantuan biaya pemeliharaan dari Pemerintahan Daerah TK I Kalimantan Barat. Peninggalan sejarah lainnya yaitu sebuah Mesjid Jami’ yang letaknya kurng lebih 100 mater kearah Barat Keraton dan Makam Raja-raja serta puluhan meriam peninggalan VOC.







Daftar Pustaka
Kutipan dari buku sejarah Adat dan Istiadat di Kalimantan Barat, karangan J.U.Lontan